Rabu, 04 Desember 2013

FOTO KEGIATAN INVENTARISIR KAYU (PokTan Saluyu)


Pengukuran Jarak antar pohon di lahan hutan masyarakat



Pengukuran dimaeter lingkar pohon


Metode sederhana penukuran ketinggian pohon
Pendataan batas lahan pohon hak kepemilikan hutan masyarakat



Menghitung jumlah kepadatan pohon di hutan hak masyrakat

Pencatatan hasil pengukuran lingkar pohon dan jumlah potensi tegakan pohon dihutan hak masyarakat

Sumber informasi kegiatan SVLK PokTan Saluyu Hutan Masyarakat di Desa Tangkil Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi yang tergabung dalam ASOSIASI HUTAN RAKYAT PRIBUMI HIJAU.

Tentang SVLK (Sertifikasi Legalitas Kayu)

Apa itu SVLK...?
Jawab :
SVLK merupakan instrumen kebijakan pemerintah untuk merespon permintaan pasar, terutama pasar ekspor bahwa produk industri kehutanan menggunakan bahan baku dari sumber yang legal atau lestari.

Apa latar belakang yang mendasari penerapan SVLK...?
Jawab :
Komitmen pemerintah dalam memerangi pembalakan liar (illegal logging) dan perdagangan kayu illegal. Perwujudan Good Forest Governance menuju pengelolaan hutan lestari. Permintaan atas jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikat dari pasar internasional, khususnya dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Sebagai bentuk “National Initiative” untuk mengantisipasi semakin maraknya permintaan terhadap skema sertifikasi legalitas kayu dari negara asing, seperti skema FSC, PEFC, dsb.

Kapan mulai diberlakukan SVLK ?

Jawab :

Sesuai dengan yang dijelaskan pada Pasal 20 Peraturan Menteri Kehutanan No.38/Menhut-II/2009 bahwa peraturan tersebut mulai berlaku pada tanggal diundangkan 12 Juni 2009 dan mulai dilaksanakan pada tanggal 1 September 2009.



Apa dasar hukum pelaksanaan SVLK ?



Jawab :

  1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.38/Menhut-II/2009 Tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak
  2. Peraturan Direktur Jendral Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.6/VI-Set/2009 Tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu 
  3. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.02/VI-BPPHH/2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu


Siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam SVLK ?

Jawab :
  1. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan sebagai regulator atau pembuat kebijakan.
  2. Komite Akreditasi Nasional (KAN) sebagai Lembaga Akreditasi SVLK.
  3. PT. Sucofindo sebagai Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK).
  4. Unit Manajemen (hutan dan industri) sebagai objek yang diverifikasi.
  5. Lembaga Pemantau Indpenden (LPI) yang terdiri dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pemantau pelaksanaan SVLK.
Apa manfaat yang diperoleh oleh Unit Manajemen dengan menerapkan SVLK ?
Jawab :
  1. Memperluas pangsa pasar ke negara-negara yang mensyaratkan adanya jaminan legalitas kayu yang diimpor. 
  2. Dapat melakukan “self endorsement” untuk Unit Manajemen yang memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu dengan warna hijau, kuning dan biru (menggunakan bahan baku dari sumber yang telah bersertifikat PHPL, SVLK, dan pencampuran antara PHPL dan SVLK). 
  3. Membangun image positive masyarakat internasional. 
  4. Sebagai pemenuhan terhadap peraturan pemerintah mengenai legalitas kayu.


Siapa yang harus menerapkan SVLK ?
Jawab :


Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.38/Menhut-II/2009 Sertifikasi Legalitas Kayu (SVLK) diterapkan oleh Unit Manajemen berikut : 
  1. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Alam (HA)/Hutan Tanaman Industri (HTI)/Rehabilitasi Ekologi (RE), 

  2. Hutan Kemasyarakatan atau hutan rakyat, 

  3. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan (IUIPHHK) dan Industri lanjutan, 

  4. Hutan hak, dan 

  5. Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).

Siapa yang dapat melakukan audit SVLK ?
Jawab :


Audit Sertifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan ditetapkan oleh SK Menteri Kehutanan sebagai Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LV-LK), PT. SUCOFINDO (PERSERO) telah diakreditasi KAN berdasarkan hasil rapat KAN COUNCIL tanggal 4 Juni 2010 dengan nomor akreditasi LVLK-002-IDN. Adapun ruang lingkup akreditasi meliputi : 
  1. Verifikasi Legalitas Kayu yang berasal dari Hutan Negara pada IUPHHK-HA/HPH, IUPHHK-HTI/HPHTI, IUPHHK-RE. 

  2. Verifikasi Legalitas Kayu yang berasal dari Hutan Negara yang dikelola oleh masyarakat pada IUPHHK-HTR/HKm 

  3. Verifikasi Legalitas Kayu pada IUIPHHK dan IUI Lanjutan 

  4. Verifikasi Legalitas Kayu yang berasal dari Hutan Hak 

  5. Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).

Apakah SVLK merupakan suatu kewajiban ?
Jawab :
Dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kehutanan No.38/Menhut-II/2009 dijelaskan bahwa setiap pemegang IUIPHHK (Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan) dan IUI Lanjutan WAJIB mendapatkan legalitas kayu.

Apakah SVLK juga harus diterapkan bagi Unit Manajemen yang hanya melakukan penjualan dalam negeri ?
Jawab :
Sesuai dengan yang dijelaskan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kehutanan No.38/Menhut-II/2009 bahwa setiap pemegang IUIPHHK (Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan) dan IUI Lanjutan  WAJIB mendapatkan Legalitas Kayu, baik yang berorientasi ekspor maupun dalam negeri.

Bagaimana keterkaitannya dengan skema sertifikasi lain yang diminta oleh buyer  misal : sertifikasi FSC, VLO, dll ?
Jawab :
Dalam pasal 18 Peraturan Menteri Kehutanan No.38/Menhut-II/2009 disebutkan bahwa sertifikat lain (CoC/VLO) yang telah diperoleh Unit Manajemen tetap berlaku sampai masa berlakunya habis.
Secara hubungan sertifikasi dapat dikatakan bahwa SVLK merupakan skema sertifikasi yang bersifat “G to G” (Government to Government) yang penerapannya diatur oleh kebijakan pemerintah, sedangkan Sertifikasi FSC/PEFC (CoC/VLO) merupakan skema sertifikasi yang bersifat “B to B” (Business to Business) yang penerapannya didasarkan atas permintaan buyer/konsumen.

Adakah sanksi bagi Unit Manajemen yang tidak melakukan SVLK ?
Jawab :
Sampai saat ini, pemerintah dalam hal ini Kementrian Kehutanan belum menetapkan sanksi bagi Unit Manajemen yang tidak menerapkan SVLK.

Apakah SVLK merupakan permintaan dari pihak asing yang berkepentingan terhadap kayu di Indonesia ?
Jawab :
Skema Sertifikasi SVLK merupakan skema sertifikasi nasional untuk legalitas kayu yang pelaksanaannya diatur oleh pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kehutanan No.38/Menhut-II/2009 dan digunakan sebagai instrumen pasar ke seluruh pasar ekspor tidak terbatas pada pasar Eropa, Amerika, Jepang, China, dan Australia.

Apa yang harus dipersiapkan oleh Unit Manajemen ?
Jawab :



Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan oleh Unit Manajemen dalam pelaksanaan VLK antara lain : 
  1. Persiapan administratif, yaitu pengajuan permohonan sertifikasi ke Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LV-LK) serta kelengkapan dokumen legalitas usaha untuk audit tinjauan dokumen.
  2. Persiapan teknis, yaitu persiapan dokumen legalitas untuk penilaian lapangan, meliputi dokumen legalitas usaha, dokumen pemenuhan bahan baku, dokumen produksi, dokumen pemasaran.
Apa standar yang digunakan dalam SVLK ?
Jawab :


Standar yang digunakan dalam pelaksanaan audit SVLK adalah Peraturan Direktur Jendral Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2012 Tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu, yaitu : 
  1. Lampiran. 2.5 Perdijen BUK P.8/2012 untuk IUIPHHK dan IUI
  2. Lampiran. 2.6 Perdirjan BUK P.8/2012 untuk TDI
  3. Lampiran. 2.7 Perdirjan BUK P.8/2012 untuk Industri RumahTangga/Pengrajin

Apakah standar yang digunakan dalam SVLK sudah diakui secara internasional ?
Jawab :
Dalam upaya untuk memperoleh pengakuan internasional, sampai saat ini secara intensif Pemerintah Indonesia c.q Kementrian Kehutanan telah melakukan perundingan dengan Delegasi EU (Uni Eropa) dalam skema VPA (Voluntary Partnership Agreement) agar dalam perdagangan kayu legal antara Indonesia dengan Uni Eropa mendasarkan pada skema SVLK yang dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia. Bila hal ini disepakati, maka skema sertifikasi legalitas kayu Indonesia (SVLK) dapat diterima di pasar Eropa tanpa ada pertanyaan lagi. Secara logika, apabila pasar Eropa sudah dapat menerima skema sertifikasi legalitas kayu Indonesia (SVLK), maka akan menjadi lebih mudah diterima bagi pasar Amerika, Jepang, China, dan Australia.

Bagaimana pembiayaan untuk penerapan SVLK ?
Jawab :
Dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Kehutanan No.38/Menhut-II/2009 disebutkan bahwa pembiayaan penilaian kinerja PHPL dan/atau verifikasi legalitas kayu untuk periode pertama dibebankan pada anggaran Departemen Kehutanan sesuai standard biaya yang berlaku, sedangkan untuk periode berikutnya dibebankan kepada Unit Manajemen.
Apakah pemegang izin Hutan Rakyat/Hutan Hak/Hutan Kemasyarakatan dapat mengajukan permohonan 

SVLK secara kolektif atau bersama-sama ?
Jawab :
Dalam Pasal 7 Ayat 5 Peraturan Menteri Kehutanan No.38/Menhut-II/2009 disebutkan bahwa Pemegang HTR atau pemegang izin HKm atau pemilik hutan hak, karena keterbatasan biaya dapat mengajukan penilaian kinerja PHPL dan/atau verifikasi legalitas kayu, secara kolektif

Dalam penerapan SVLK, apakah seluruh kayu diverifikasi ?
Jawab :
Dalam audit SVLK, uji fisik kesesuaian antara kayu yang ada di lapangan dengan dokumen yang menyertainya dilakukan secara sampling. Sedangkan verifikasi dokumen pemenuhan bahan baku, produksi dan pemasaran dilakukan secara sensus untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berjalan.

Apakah dalam sistem SVLK juga harus ada pemilahan bahan baku yang digunakan ?
Jawab :
Dalam skema sertifikasi SVLK tidak dipersyaratkan adanya pemilahan bahan baku yang digunakan, pencampuran penggunaan bahan baku pada proses produksi diperbolehkan selama seluruh bahan baku yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan legalitasnya yang dibuktikan dengan dokumen pengangkutannya. Dalam proses audit dilakukan verifikasi terhadap seluruh bahan baku yang masuk ke Unit Manajemen dalam 1 (satu) tahun terakhir. Adapun bahan baku yang digunakan dapat berasal dari sumber berikut :
•   Sumber yang telah bersertifikat PHPL,
•   Sumber yang telah bersertifikat SVLK,
•   Pencampuran antara sumber yang bersertifikat PHPL dan SVLK,
•   Sumber yang memenuhi Permenhut No.P.55 dan P.51,
•   Pencampuran antara sumber yang telah bersertifikat PHPL, SVLK dan P.55/P.51

Apakah dalam pelaksanaan SVLK penelusuran bahan baku kayu dilakukan sampai ke hutannya ?
Jawab :
Dalam skema sertifikasi SVLK, penelusuran asal bahan baku yang digunakan tidak dilakukan sampai ke hutannya, penelusuran hanya dilakukan satu tahap ke belakang sampai ke supplier/pemasok terakhir atas bahan baku yang masuk ke Unit Manajemen yang dilakukan secara sampling (tidak semua supplier/pemasok ditelusuri).
Penelusuran ke suplier ini bersifat konfirmasi yang dilakukan dengan kunjungan langsung maupun via telepon. Hal-hal yang dikonfirmasikan antara lain :
a.  Dokumen legalitas pengangkutan bahan baku (SKSKB/FAKB/FAKO/SKAU/SAL),
b.  Petugas penerbit dokumen skshh (SKSKB/FAKB/FAKO/SKAU/SAL),
c.  Status perusahaan penerbit dokumen skshh (SKSKB/FAKB/FAKO/SKAU/SAL).

Apakah dalam SVLK perlu dilakukan kodefikasi pada setiap pergerakan kayu dalam proses produksi mulai dari bahan baku sampai menjadi produk jadi ?
Jawab :
Dalam skema SVLK, Unit Manajemen tidak dipersyaratkan memberikan kodefikasi pada setiap pergerakan kayu mulai dari bahan baku sampai menjadi produk jadi. Yang perlu dilakukan oleh Unit Manajemen adalah memberikan kodefikasi pada tally sheet dimana bahan baku kayu pertama kali diproses dalam proses produksi sehingga dari tally sheet tersebut mampu ditelusuri asal dokumen pengangkutannya (SKSKB/FAKB/FAKO/SKAU/SAL), misal : kodefikasi tally sheet pada proses bandsaw untuk industri primer atau pada proses planner pada industri lanjutan.

Bagaimana kriteria penilaian pada audit SVLK ?
Jawab :
Unit Manajemen dapat dikatakan lulus dalam audit SVLK dan diberikan Sertifikat Legalitas Kayu jika semua norma penilaian untuk setiap verifier pada Standar Verifikasi Legalitas Kayu “Memenuhi”.

Dalam hal hasil verifikasi “Tidak Memenuhi”, maka PT. Sucofindo akan menyampaikan laporan hasil verifikasi kepada Unit Manajemen dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki verifier yang “Tidak Memenuhi” dengan batas waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kalender sejak Unit Manajemen menerima laporan hasil verifikasi.

Dalam hal pengambilan keputusan hasil verifikasi “Memenuhi” atau “Tidak Memenuhi” dilakukan oleh Pengambil Keputusan (Panel Review) yang didasarkan oleh laporan auditor.

Apakah output dari audit SVLK ?
Jawab :
Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LV-LK) akan menerbitkan:
  1. Laporan Hasil Verifikasi Legalitas Kayu (LH-VLK) yang berisi analisa pemenuhan setiap kriteria standar legalitas kayu bagi setiap Unit Manajemen yang diverifikasi.
  2. Sertifikat Legalitas Kayu (SLVK) bagi Unit Manajemen yang memenuhi semua kriteria standar legalitas kayu.
Berapa lama masa berlaku Sertifikat Legalitas Kayu ?
Jawab :
Sertifikasi Legalitas Kayu (SLVK) berlaku selama 3 (tiga) tahun dan setelahnya dapat dilakukan perpanjangan untuk 3 (tiga) tahun selanjutnya.

Bagaimana pengawasan terhadap Unit Manajemen yang telah memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu ?
Jawab :
Pengawasan Unit Manajemen oleh LV-LK dilakukan dengan melakukan audit surveillance/penilikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak pertemuan penutup (closing meeting) audit sebelumnya. Audit surveillance ini dilakukan setiap tahun selama masa berlaku Sertifikat Legalitas Kayu. Disamping itu, jika selama masa berlaku Sertifikat Legalitas Kayu terdapat komplain atau keberatan dari pihak ketiga (masyarakat/LSM) terkait dengan Sertifikat Legalitas Kayu yang diberikan, maka akan dilakukan audit tiba-tiba terhadap Unit Manajemen tersebut. Adapun beban biaya yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut (audit surveillance dan audit tiba-tiba) dibebankan kepada Unit Manajemen. 




Sumber: www.seputarsvlk.com

Minggu, 01 Desember 2013

Sertifikasi Legalitas Kayu

Kerusakan dan susutnya lahan hutan di Indonesia sangat tinggi. Ini membahayakan kelestarian sumberdaya hutan dan memicu perubahan iklim global. Salah satu penyebab surutnya sumberdaya hutan adalah pembalakan liar. Ada beberapa jalan untuk mengerem pembalakan liar. Yakni memotong perdagangan kayu ilegal. Caranya, dengan mengawasi transaksi kayu ilegal melalui sertifikasi (labelling) atas asal-usul kayu. Dalam bisnis perkayuan, cara ini lazim disebut Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Melalui verifikasi, ada harapan kayu di pasaran dapat dipertanggungjawabkan legalitasnya. Orang tak lagi asal menebang pohon, asal menjual, dan asal membeli kayu. Dengan begitu, cita-cita tentang sustainable forest management (SFM) jangka panjang dapat diwujudkan. Itu manfaat ekologis sertifikasi kayu, yakni sebagai salah satu instrumen untuk menghambat potensi kehilangan karbon, khususnya pada satuan-satuan wilayah kayu tersebut berasal. Secara ekonomi, sertifikasi kayu berpeluang memberikan efek jera bagi pengusaha yang menjalankan industri dengan bahan kayu ilegal dan atau memperdagangkan kayu ilegal. Dengan begitu, intensitas dan luas kawasan pembalakan liar dapat ditekan. Dan pada gilirannya, secara tak langsung itu akan menambah akumulasi stok karbon (green-carbon) yang bermanfaat menahan laju pemanasan global.
Di situ tampak ada dua persoalan utama. Pertama adalah pemanasan global, kedua soal sumberdaya hutan. Kedua persoalan ini dapat dicarikan jalan keluarnya dengan sebanyak mungkin mengurangi laju emisi karbon yang terkandung dalam kayu. Yang perlu dilakukan adalah memberikan insentif positif bagi parapihak yang terbukti berjasa menyelamatkan hutan dari kerusakan. Sejauh ini sudah ada sejumlah mekanisme untuk memberikan insentif bagi mereka yang turut serta menyelamatkan karbon yang terkandung dalam kayu. Salah satu mekanisme tersebut adalah melalui skema REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation).
Dengan bahasa sederhana, REDD+ memberikan insentif positif bagi pihak-pihak yang dengan sengaja menyelamatkan atau memperkaya kandungan stok karbon di suatu satuan kawasan hutan. Hanya saja, kebijakan REDD+ pada tataran nasional dan penerapannya di daerah masih dalam proses pemahaman bersama belum tuntas. Itu membuat REDD+ belum operasional atau tak optimal dioperasionalkan di lapangan. Dengan kondisi ini, banyak daerah yang belum dapat mewujud kan REDD+ dalam upaya menyelamatkan karbon di bumi. Bila REDD+ dapat dilaksanakan, angan-angan tentang hutan lestari dan masyarakat sejahtera secara sosialekonomi dapat terwujud.
Salah satu faktor yang menghambat pelaksanaan REDD+ adalah kosongnya “kekuatan pemaksa”. Padahal, “kekuatan pemaksa” berperan untuk memungkinkan parapihak tergiring kepada ide REDD+, dan secara rasional serta sukarela menerapkannya di lapangan. Pertanyaannya, adakah “kekuatan pemaksa” yang secara rasional dapat bekerja dan memberikan insentif positif bagi pihak-pihak pemangku kepentingan hutan untuk melaksanakan REDD+? Itu perlu agar cita-cita akan pengelolaan hutan lestari tercapai. Pelaksanaan SVLK juga tak demikian mudah. Itu terjadi sejak masih konsep hingga pelaksanaannya. Tujuan sertifikasi pun berpotensi bergeser dari rencana awal. Dan persoalan yang muncul di kemudian hari tak mudah dipecahkan begitu saja. Persoalan tersebut merentang sejak dari Pemerintah Pusat sampai di daerah. Satu di antara banyak persoalan itu adalah rendahnya pemahaman di kalangan parapihak atau pemangku kepentingan (stakeholders) tentang SVLK. Bahkan pada ranah prasyarat penopang (enabling condition), masih terdapat berbagai kekurangan yang mengganggu bekerjanya sertifikasi secara optimal. Beberapa contoh di antaranya adalah terbatasnya kemampuan untuk memahami dan berbedanya persepsi pemerintah daerah (Pemda) dan organisasi terkait lainnya dalam memaknai SVLK. Pada tataran pelaksana, juga masih
ditemukan indikator dan kriteria SVLK yag kurang tepat di skala daerah hingga skala nasional. Artinya, secara ideal maupun secara operasional, konsep sertifikasi kayu dan REDD+ sesungguhnya bertujuan sejalan. SVLK berupaya mencapai cita-cita melalui intervensi

pengusahaan kayu. Sementara, REDD+ berupaya mencapai cita-cita SFM melalui rute pengembangan “kawasan lestari”. Yakni sebuah kawasan yang di dalamnya ditemukan berbagai macam konsesi pengelolaan dan pemanfaatan hutan seperti HPH, Hutan Rakyat, Hutan Lindung, Kawasan Konservasi. REDD+ berusaha menyelamatkan karbon yang terkandung dalam kayu pada satuan wilayah. Sementara, SVLK berusaha menyelamatkan hutan dari pembalakan liar yang memerosotkan cadangan karbon secara tak langsung. Dengan demikian, idealnya REDD+ dan SVLK dapat saling dukung. Keduanya merupakan skema penyelamatan kayu dan karbon serta sumberdaya hutan sekaligus. Tinggal bagaimana menyambungkan dua skema yang berbeda arena tersebut. REDD+ dan SVLK dapat berjalan seiring untuk menyelamatkan hutan di Indonesia seraya memperbaiki kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat.
Ada harapan bahwa nantinya uraian dalam buku ini mampu memberikan justifikasi pentingnya SVLK sebagai infrastruktur pendukung REDD+. Selain itu, uraian dalam buku ini juga bermaksud memberikan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang selama ini cukup mengusik. Itu misalnya pertanyaan bisakah SVLK menjadi salah satu unsur penilaian dalam REDD+. Pertanyaan ini berangkat dari fakta bahwa basis pengukuran REDD+ melalui measuring, reporting, and verification (MRV) adalah wilayah. Sementara itu, hutan merupakan salah satu bagian dari wilayah yang memproduksi kayu yang secara legalitas menggunakan SVLK sebagai sistem verifikasinya. Oleh karena itu, untuk menjalankan REDD+ perlu ada SVLK, sehingga legalitas keluarnya kayu dari hutan dapat dijamin. Dengan begitu, tak terjadi deforestasi dan degradasi
hutan, yang juga menjadi tujuan pelaksanaan REDD+. Ada juga pertanyaan apakah SVLK dapat masuk sebagai salah satu syarat negosiasi pendanaan REDD+. Pasalnya, di dalam proyek REDD+ perdagangan karbon akan selalu memperhitungkan untung dan rugi. Itu termasuk biaya transaksi yang ditanggung perusahaan untuk verifikasi legalitas kayu. Artinya, ketika sebuah produk kayu dinyatakan legal dan absah untuk diperdagangkan oleh sebuah perusahaan, maka perusahaan tersebut berhak atas skema kredit REDD+. Dengan demikian, SVLK menjadi justifier bagi sebuah perusahaan atau negara untuk mendapatkan pendanaan REDD+. Pertanyaan lain muncul berkaitan dengan seberapa besar sesungguhnya manfaat bagi pengusaha kayu dan berapa pula besarnya penambahan stok karbon di suatu wilayah hutan tempat perusahaan kayu tersebut menerapkan SVLK. Sebagaimana diketahui, SVLK bekerja pada basis kayu sebagai produk sumberdaya hutan. SVLK melakukan verifikasi pada perusahaan kayu, karenanya perlu biaya tambahan untuk itu. Ini menyebabkan keuntungan perusahaan berkurang. Sementara itu, REDD+ bekerja untuk mencegah carbon loss pada sebuah ekosistem hutan yang diukur dari luasan kawasan hutan yang berpotensi untuk menyelamatkan karbon. Bagi sebuah perusahaan yang berada di sebuah kawasan hutan dengan pengelolaan yang baik, yang berpotensi menyelamatkan karbon, ia akan mendapatkan skema kredit karbon yang menjamin produktivitas kayu lebih baik. Artinya, ada harapan akan tambahan penghasilan bagi pengusaha kayu setelah mendapatkan kompensasi REDD+. Tambahan pendapatan dari kompensasi REDD+ ini diharapkan dapat menutup berbagai biaya, termasuk biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk SVLK. Dengan begitu, baik perusahaan kayu maupun ekosistem hutan menerima manfaat
atas pelaksanaan serfikasi kayu maupun REDD+. Selain itu, juga ada pertanyaan bagaimana memperkuat kapasitas forest governance di sejumlah lembaga pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, institusi lokal, dan organisasi pengusaha kayu. Integrasi SVLK dan REDD+ tak mudah. Pasalnya, ada perbedaan asumsi mekanisme dan basis operasi kedua sistem tersebut. Terlebih lagi, pelaksanaan sertifikasi dan REDD+ jadi makin sulit lantaran enabling condition yang kurang siap. Kaadaan ini menyebabkan buruknya tata-kelola pemanfaatan dan perdagangan kayu maupun tata-kelola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Dan buruknya enabling condition ini melekat pada buruknya kapasistas forest governance, pemerintah daerah, institusi lokal, dan organisasi pengusaha kayu serta pemangku kepentingan lainnya. Dengan uraian yang tersaji di dalamnya, buku ini bermaksud untuk meraih beberapa tujuan. Itu antara lain untuk membangun kerangka pikir yang menyambungkan antara kebijakan dan pelaksanaan SVLK dengan REDD+. Tujuan berikutnya, untuk merumuskan sejumlah pilihan strategis dalam menjadikan SVLK sebagai infrastruktur kebijakan dan pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Selain itu, buku ini juga bertujuan melakukan analisis kemungkinan SVLK menjadi salah satu unsur menegosiasikan pembayaran kredit dalam skema pendanaan REDD+. Tak tertutup pula kemung kinan, melalui buku ini, bisa ditemukan metodologi yang efektif untuk memperkuat kapasitas tata-kelola kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan kayu serta sumberdaya hutan.

Dari serangkaian tujuan di atas, ada beberapa manfaat yang diharapkan dapat terwujud. Misalnya, agar Pemerintah Pusat memiliki pegangan yang pasti untuk memasukkan SVLK sebagai infrastruktur REDD+. Di samping itu, pemerintah daerah juga akan lebih memahami betapa pentingnya SVLK dalam kerangka pengelolaan hutan lestari. Sedangkan di kalangan pengusaha, uraian dalam buku ini akan membantu mereka memiliki perhitungan yang lebih akurat ber kenaan dengan manfaat dan ongkos sertifikasi. Dan pada akhirmya, masyarakat pun akan memahami bagaimana memanen kayu yang baik dan benar sesuai dengan prinsip-prinsip SFM. Secara umum, ada tiga hal utama yang tersaji dalam uraian seputar kaitan antara SVLK dan REDD+ di buku ini. Yang pertama berupa kerangka pikir antara kebijakan dan pelaksanaan SVLK dengan kerangka REDD+. Kedua, berupa beberapa pilihan strategis untuk menjadikan SVLK sebagai infratruktur kebijakan dan pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Selain itu juga ada analisis kemung kinan SVLK sebagai salah satu unsur untuk menegosiasikan pembayaran kredit dalam skema pendanaan REDD+. Dan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang terkemas dalam uraian buku ini, ada sejumlah strategi yang ditempuh. Pertama, expert meeting dengan mengundang beragam stakeholder yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam SVLK, REDD+ dan pengelolaan hutan lestari baik dari kalangan akademisi, praktisi, pemerintah, dan civil society. Kedua, berupa studi lapangan untuk penajaman isu dan identifikasi permasalahan dan isu strategis sehubungan dengan pelaksanaan sertifikasi dan REDD+ di daerah. Di situ juga ada sejumlah kegiatan, seperti pengamatan langsung, wawancara mendalam, dan focus group discussion (FGD) yang melibatkan para pemangku kepenting an di tingkat lokal.

sumber: http//:www.mfp.or.id